Thursday, December 10, 2015

Konglomerasi Media dan Agenda Setting

Konglomerasi Media dan Agenda Setting

Di sekitar kita, sering kita jumpai orang dengan status ekonomio yang berbeda, ada yang miskin, juga ada orang yang kaya. Orang miskin tidak mempunyai harta sedangkan orang kaya memiliki harta dan uang yang melimpah. Saat kita menjumpai hal tersebut sering kali kita tidak mempedulikannya. Karena harta yang mereka miliki adalah jerih payah dari pekerjaan dan usaha mereka.
orang kaya seringkali mengumpulkan hal-hal yang mereka sukai untuk menjadikan nya sebagai koleksi. Ada yang koleksi tas mewah, koleksi motor gede, koleksi mobil mewah dan sebagainya. Sering kali kita tidak terlalu mempedulikannya karena sebanyak koleksi mereka tidak mempengaruhi kehidupan kita.
Orang-orang kaya saat ini lebih suka untuk investasi dengan beragam usaha. Banyak orang kaya yang membuat berbagai macam usaha, seperti bisnis perhiasan, butik, bahan bangunan, perumahan, mobil mewah dan sebagainya. Tetapi, sering kali sebagai orang yang biasa-biasa saja kita seringkali mengabaikannya, Cuma berhanyal bagaimana menjadi seperti mereka.
Mempunyai usaha memang adalah hal semua orang sebagai jalan untuk membuka rejeki atau nafkah bagi keluarga. Kalo melihat itu, kita tidak masalah dengan konglomerat keluarga Hartono pemilik Perusahaan Djarum dan BCA, atau konglomerat Susilo Wonowidjojo pemilik Gudang Garam, dan pengusaha lainnya.  Asalkan usaha nya adalah usaha yang jujur dan tidak merugikan orang lain mari kita dukung.
Tapi fenomena yang saat ini terjadi adalah ada beberapa orang yang memiliki banyak usaha dalam bidang penyiaran seperti media cetak, televisi dan radio. Sepertinnya kao kita lihat itu juga menjadi hal yang biasa dan tidak perlu di masalahkan. Yang punya duit mereka, yang membangun media mereka dan yang punya usaha mereka. Tetapi kenapa kita permasalahkan ya ?
Ingat kita sudah sepakat harus mendukung usaha seseorang asal dengan syarat jujur dan tidak merugikan orang lain. Lalu apa salahnya kalo ada orang yang mempunyai usaha banyak di satu media. Misal punya televisi, punya radio dan punya majalah. Seolah-olah memang tidak masalah ya ? Kepemilikan seseorang dalam banyak media disebut konglomerasi media.
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan ancaman kebebasan pers.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul.
Pemilik media
Sebuah pertanyaan yang biasa adalah siapa yang pertama kali menentukaan agenda media ? Ini adalah pertanyaan yang sulit dan kompleks. Terlihat bahwa agenda media berasal dari tekanan baik di dalam organisasi media dan dari sumber-sumber di luar organisasi tersebut. Dengan kata lain, agenda media ditentukkan oleh beberapa kombinasi pemprograman internal, keputususan manajerial dan editorial, dan pengaruh eksternal dari sumber-sumber non-media, seperti individu yang berpengaruh secara sosial, pejabat pemerintah, dukungan iklan dan sebagainya. (Littlejohn, 2009:418)
Harusnya agenda media merupakan hadil dari buah pikiran banyak orang, karena media ibarat sebagai seorang indivisu yang mempuyai karakter dan suatu tujuan hidup. Tapi bagaimana jika media itu dimiki oleh seorang yang punya kepentingan pribadi yang kuat, dan berambisi untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara. Ini yang menjadi berbahaya bagai publik. Agenda media tidak lagi buah dari pemikiran dari keputusan bersama manajerial dan editorial, tetapi buah pikiran pemilik media yang mempunyai agenda pribadi.
Dari versi teori yang paling sederhana dan langsung, agenda media mempengaruhi agenda masyarakat dan agenda masyarakat mempengaruhi agenda kebijaksanaan. (Littlejohn, 2009:416) Teori ini dapat dipatahkan mana kala ada konglomerasi media, karena yang menentukkan agenda media adalah agenda politik dari pemilik media.
Kekuasaan pemilik media harus di batasi
Kekuasaan pemilik media harus di batasi, karena jika tidak dibatasi, agenda pribadi dapat masuk dalam semua isi berita. Contoh Di TV one tidak akan memberitakan berita buruk tentang lumpu lapindo. Atau saat ini yang sedang berlangsung, kasus “papa minta saham”coba dibandingkan pemberitaannya antar tv one dengan stasiun televisi lainnya. Aturan sudah ada, tinggal bagaimana cara menindaknya.
Penyusun Isu masyarakat
Para peneliti telah lama mengetahui bahwa media memiliki kemampuan untuk menyusun isu-isu bagi masyarakat. Salah satu penulis awal yang menrumuskan gagasan ini adalah Walter Lippmann seorang jurnalis Amerika terkemuka. Lippmann mengambil pandangan bahwa masyarakat tidak merespon pada kejadian sebenarnya dalam lingkungan, tetapi pada “gambaran dalam kepala kita”, yang ia sebut dengan “lingkungan palsu” (pseudoenvironment) : Karena lingkungan yang sebenarnya terlalu kompleks, dan terlalu menuntut adanya kontak langsung. Kita tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan begitu banyak detail, begitu banyak keragaman, begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama kita harus bertindak dalam lingkungan, kita harus menyusun kembali dalam sebuah model yang lebih sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal itu. Media memberitakan kita model sederhana dengan menyusun agenda bagi kita (Littlejohn, 2009:415)

Manusia tidak mampu mersepon gambaran secara langsung karena terlalu kompleks, media membuat media yang lebih sederhana, kita mempercayai agenda media tersebut. Padahal agenda media tersebut buah dari agenda pemilik media yang berkepentingan.  Agenda kita ditentukkan oleh orang lain ? Media teman yang berbahaya.

No comments:

Post a Comment